Penanganan Dini 7 Tahun Pertama Bagi Anak dengan Autisme :
Kunci Keberhasilan di Tahap Selanjutnya
Keluarga besar Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ikut mendukung
World Autism Awareness Day bertema “How to Spot the Signs of Autism in Children”
2 April 2015
Impian setiap ayah bunda adalah mendapatkan momongan yang sempurna secara fisik dan psikologis. Tangisan anak di awal kelahiran seolah mencuatkan harapan bagi kedua orangtuanya untuk menyaksikan tumbuh kembang buah hati mereka sesuai harapan ideal di awal. Namun ketika orangtua mendapati bahwa sang ananda nampak ‘berbeda’, dua respon yang biasa terjadi yaitu seolah tidak menganggap perbedaan itu adalah hal yang perlu segera disikapi (denial) atau bisa menerima perbedaan dan mencari jalan keluar (acceptance). Menurut data terkini yang dirilis oleh Centre of Disease Control (CDS) di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi (angka kejadian) autisme adalah 1 dari 68 anak atau secara lebih spesifik adalah 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan. Angka kejadian ini cukup mengkuatirkan dan merupakan tantangan besar bagi profesi Psikolog khususnya untuk mengantisipasi segera deteksi dan intervensi dini yang tepat.
Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah sebutan lengkap dari gangguan autisme, yang sesungguhnya terdiri dari beberapa macam gangguan. Deteksi dini atas gangguan ini akan sangat menentukan tumbuh kembang anak tersebut selanjutnya. Jika didapati anak berusia di bawah dua tahun dengan kesulitan melakukan interaksi sosial (tidak bisa bermain dengan teman sebayanya), gangguan komunikasi (verbal dan non-verbal) – belum dapat berbicara atau menyampaikan keinginan secara tepat, tidak mudah memahami sesuatu, tidak merespon ketika diajak berbicara, tidak menatap atau melakukan kontak mata, yang terkadang juga diikuti gangguan sensoris dan motorik, maka sebaiknya orangtua segera memeriksakan keadaan anaknya dan tidak mendiamkan atau sekedar berharap agar semuanya akan hilang dengan berjalannya waktu atau malah menjadi panik dan marah. Tiap anak menunjukkan derajat gangguan dan kesulitan yang berbeda dan oleh karenanya orangtua perlu merespon cepat dan tepat agar tidak kehilangan waktu menata penanganan yang dibutuhkan ananda. Akumulasi dari gangguan yang tidak ditangani dini akan berakibat pada tumbuh kembang anak yang tidak optimal dan permasalahan yang lebih kompleks di kemudian hari dengan biaya yang cukup tinggi.
Di negara maju seperti Amerika, Eropa, Canada dan Australia, pemerintahnya terlibat secara proaktif dalam penanganan anak dengan autisme. Intervensi dini sudah terintegrasi dan bahkan diatur secara terstruktur yang menyangkut berbagai institusi (kesehatan, pendidikan, dan sosial) serta profesi dari berbagai bidang (Kedokteran, Psikologi, Terapi Okupasi dan Patologi Wicara). Sebagai gambaran, Pemerintah Australia mengatur bahwa setiap anak dengan autisme berhak mendapatkan bantuan dana sampai dengan AUD 12,000 dengan maksimum AUD 6,000/tahun untuk mendapatkan penanganan yang tepat sampai usia 7 tahun. Intervensi yang dijalani anak sampai dengan usia pra SD ini menjadi bagian yang terintegrasi dengan pendidikan setingkat taman bermain sampai dengan taman kanak-kanak. Mengapa begitu besar dana yang diberikan per anak dan mengapa sampai usia 7 tahun? Alasan utamanya adalah ada waktu 7 tahun untuk menyiapkan anak mampu secara mandiri bergabung dengan teman sebayanya di sekolah dasar umum. Tujuh tahun intervensi secara terus menerus sebelum memasuki pendidikan dasar membekali anak dengan autisme kemampuan belajar bersama anak lain dan ketrampilan dasar yang cukup untuk beradaptasi dalam pendidikan dasar, menengah dan bahkan saat mereka harus mencari bidang kerja yang sesuai. Dalam 7 tahun pertama ini pula orangtua mendapatkan pendampingan secara simultan saat anak mereka menjalani intervensi. Diharapkan beban pemerintah dalam hal ikut mengatasi persoalan sosial di masa mendatang akan berkurang bila anak-anak dengan autisme ini sudah mendapatkan penganganan dini yang baik. Pemerintah tidak harus menanggung hidup mereka nantinya diharapkan mampu mencari nafkah sendiri dan tidak membebani orangtua. Orangtua juga belajar merespon secara tepat, memahami kesulitan yang dialami anak, mempunyai wawasan yang lebih luas dalam melihat ‘keunikan’ buah hati mereka dan bukan menjadi malu atas kondisi buah hati mereka.
Bagaimana dengan penanganan autisme di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia? Menurut laporan World Bank tahun 2014, Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 249 juta jiwa, negara dengan populasi ke-4 terbesar setelah China, USA, dan India. Dengan jumlah penduduk yang besar, peningkatan angka kejadian autisme juga merupakan tantangan tersendiri bagi profesi yang bergerak dibidang penanganan autisme untuk memberikan layanan yang memadai terutama terkait besarnya biaya untuk proses skrining, diagnosa dan belum terintegrasinya intervensi efektif dalam penanganan autisme. Pemerintah Indonesia sendiri telah merespon positif dengan munculnya Pusat Terapi Autisme di beberapa kabupaten yang dari waktu ke waktu terus mengalami penyempurnaan. Berbagai profesi yang memberikan pelayanan terkait untuk terus berbenah dan meningkatkan kemampuan/ketrampilan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik. Pusat terapi autisme swasta yang ada juga berperan penting dalam menyelenggarakan intervensi. Perlu diakui bahwa banyak kendala dan tantangan yang mempengaruhi keberhasilan penanganan autisme di semua pusat terapi yang menjadi PR bagi kita semua dan salah satu upayanya adalah terus belajar dari mereka yang lebih ahli dan mengadaptasi terapi yang sudah terbukti efektivitasnya dengan memasukan kesesuaian dengan nilai dan budaya Indonesia.
Kenyataan ini hendaklah tidak membuat orangtua berkecil hati karena menganggap bahwa terapi autisme yang ada di Indonesia belum memadai. Sebaliknya hendaknya hal ini menjadi cambuk bagi kita semua untuk menunjukkan komitmen dan dedikasi untuk terus berjuang bersama dalam menyempurnakan efektivitas berbagai jenis terapi dan layanan yang disediakan. Namun, perlu diingat bahwa tiap anak unik dan pendekatan yang efektif untuk seorang anak bukan jaminan menjadi terapi terbaik bagi anak lainnya.
Intervensi dini yang tepat sangat tergantung pada ketepatan proses skrining dan penegakan diagnosa yang benar. Berbagai upaya dilakukan untuk menemukan cara skrining yang efektif yang sesuai dengan nilai dan budaya Indonesia dengan biaya yang terjangkau. Bersyukurlah kita bahwa akan segera dimungkinkan adanya proses skrining yang cukup efektif berdasarkan hasil penelitian mendalam yang dilakukan oleh salah satu anggota HIMPSI. Adanya alat ukur ini nantinya akan mendukung penegakan diagnosa dan kemudian terapi yang tepat yang saat ini sudah dijalankan dengan komitmen tinggi oleh anggota HIMPSI diberbagai daerah.
Akhirnya, efektivitas penanganan autisme akan berpulang pada beberapa aspek antara lain peningkatan kemampuan dan ketrampilan terapis dalam mengaplikasikan berbagai teknik dan metode yang ada, dukungan pemerintah dalam hal regulasi dan fasilitas serta utamanya pada adanya kerjasama yang harmonis dengan orangtua. Tiap anak membutuhkan rencana program intervensi individual dengan prioritas yang berbeda antara satu anak dengan lainnya dan orangtualah yang sesungguhnya merupakan terapis utama di rumah. Oleh karena itu orangtua yang mendeteksi bahwa anak mereka menunjukkan proses tumbuh kembang yang ‘berbeda’ dengan anak lainnya, usahakan untuk:
1. Tenang (tidak perlu panik dan mencari pembenaran) dan menerima kenyataan;
2. Mencatat secara rinci kesulitan dan gangguan yang dialami anak;
3. Mengkonsultasikan pada ahli tumbuh kembang anak seperti Dokter spesialis tumbuh kembang anak atau Psikolog;
4. Bekerjasama dengan terapis membuat rencana program individual dan target yang ingin dicapai;
5. Proaktif ikut belajar menjalankan dan melatih anak di lingkungan rumah sesuai metode yang disarankan;
6. Bersikap optimis terhadap anak dan terapis;
7. Menghargai kemajuan (walau kecil) yang dicapai oleh anak; dan
8. Mengikutsertakan anggota keluarga lain untuk lebih memahami kesulitan anak dan memberikan dukungan positif selama proses intervensi dan ikut memikirkan solusi jangka panjang
Peringatan Hari Peduli Autisme 2015 kembali mengingatkan kita semua bahwa permasalahan penanganan anak berkebutuhan khusus, terutama autisme bukan tugas dokter, psikolog dan guru saja, melainkan menjadi tugas kita bersama. Bagi orangtua dari anak dengan autisme, percayalah Anda tidak sendiri menghadapi situasi ini dan mari bergandengan untuk belajar bersama guna lebih memahami ‘kekuatan’ yang ada dibalik kondisi kekhususan buah hati kita. Kita punya waktu sampai anak berusia 7 tahun untuk bersama memberikan penanganan yang paling sesuai dan mempersiapkan mereka untuk mampu mandiri.
Kontributor tulisan:
Asteria Ratnawati Saroinsong S.Psi,Psikolog ; Fransisca Febriana Sidjaja, MPsi, Psikolog
Ditulis oleh :
Josephine M.J. Ratna, MPsych, Psikolog (Sekjen HIMPSI)
Disetujui oleh :
Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum HIMPSI)
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
http://www.himpsi.or.id
SIlahkan mengunduh versi PDF artikel di atas.