Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015

PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PENANAMAN BENIH KARAKTER ANAK INDONESIA

Keluarga besar Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ikut mendukung Hari Pendidikan Nasional bertema “Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”

2 Mei 2015

Pembinaan karakter manusia Indonesia sudah menunjukkan urgensi sehingga muncul berbagai gerakan yang diharapkan dapat memperbaiki karakter individu. Semangat memperbaiki etos kerja dan meningkatkan karakter pekerjanya nampak di berbagai instansi yang memasang visi, misi dan filosofi kerja yang berlaku. Di sekolah-sekolah pun banyak slogan dipampang untuk mengingatkan siswa agar belajar lebih rajin, lebih disiplin, menjaga kebersihan dan kerapihan diri. Tujuannya agar peserta didik ingat bahwa untuk menjadi lebih baik, mereka perlu menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Pembentukan karakter harus melewati suatu proses belajar yang membutuhkan latihan dan pengulangan.

Pada masyarakat tradisional, pembentukan karakter dilakukan melalui penanaman rasa malu. Hal ini terlihat dari penggunaan kata ora ilok, ngisin-isini dalam bahasa Jawa atau siri dalam bahasa Bugis. Seorang anak berusaha mencapai nilai baik karena tidak ingin merasa malu di hadapan teman-temannya, sehingga ia membiasakan diri untuk memperhatikan guru, belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah agar tidak harus malu atas kegagalan. Jika toh gagal, karakter perilaku yang baik ini tidak membuatnya harus menanggung malu. Namun dalam prakteknya, masih banyak contoh perilaku tidak berkarakter tersaji dalam keseharian, misalnya melanggar lampu lalu lintas dan melawan arus di jalan raya; atau korupsi waktu-uang, bullying terhadap rekan kerja dan sebagainya. Apakah sudah luntur rasa malu di masyarakat kita, sehingga menyaksikan perilaku tak berkarakter menjadi pemandangan yang biasa?

Secara psikologis rasa malu atau rasa bersalah seseorang didasari oleh emosi moral yang terdiri dari emosi malu dan emosi bersalah. Emosi moral diperlukan untuk menjembatani standar moral yang dianut seseorang dengan perilaku moral yang ditampilkannya. Gambaran pengetahuan dan internalisasi dari norma moral yang dimiliki oleh seorang individu disebut sebagai standar moral (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Standar moral yang dimiliki oleh seorang individu sebagian didikte oleh hukum moral universal, dan sebagian lagi dibentuk oleh larangan-larangan spesifik dalam sebuah budaya.

Menurut Tangney (1999), emosi malu merupakan internalisasi emosi negatif yang dialami individu saat ia gagal memenuhi aturan sosial. Emosi malu memunculkan perasaan negatif yang tidak menyenangkan yang kemudian memotivasi individu untuk menghindar dan melarikan diri dari situasi tersebut. Lingkungan sosial berperan penting dalam memunculkan emosi malu. Keluarga atau lingkungan mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang salah itu memalukan. Tracy dan Robins (2004) memandang emosi bersalah justru mendorong individu untuk memperbaiki tindakannya, bukan menghindar, artinya ada unsur konstruktif ketika seseorang merasa bersalah.

Untuk membangun karakter, emosi malu dan emosi bersalah sebagai bagian dari emosi moral sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan terkait dengan situasi sosial. Munculnya emosi malu dan emosi bersalah bersumber dan dipelajari dari keluarga, pendidikan, situasi kerja dan sebagainya. Benar-salah, baik-buruk seharusnya diajarkan secara eksplisit baik di rumah maupun di sekolah, bukan merupakan hidden curriculum. Dengan hanya menekankan penanaman emosi malu tanpa diikuti oleh bagaimana konstruksi karakter yang positif sebagai reaksi terhadap emosi malu tersebut, anak membangun pandangan diri negatif serta kurang/sulit mengembangkan harga diri.

Menurut Aristoteles, agar dapat tertanam karakter yang baik pada individu, maka ia perlu memiliki kebajikan intelektual, yaitu seseorang secara aktif melatih kemampuan nalarnya. Dengan melatih kemampuan berpikir, maka seseorang dapat mengatur impuls-impuls dan keinginannya menjadi lebih bijak dan menunjukkan karakter moral yang baik. Keluarga dan sekolah sebagai setting pendidikan perlu mengajarkan standar perilaku dan pengajarannya melalui aktivitas yang kontekstual, yaitu sesuai dengan budaya dan nilai yang berlaku (Vygotsky, 1978).

Penanaman emosi moral secara sistematis dapat dilakukan melalui pengembangan moral reasoning (penalaran moral) anak. Penalaran moral merupakan proses sistematik yang dilakukan untuk mengevaluasi kebajikan pribadi dan mengembangkan serangkaian prinsip moral secara konsisten dan obyektif (Lumpkin, 2003, dalam Lumpkin, 2008). Caranya dengan mulai mendiskusikan suatu isu secara aktif dalam berbagai situasi. Vygotsky (1978) menegaskan pentingnya anak secara aktif mengkonstruk pikirannya, kemudian menilai situasi dan perilaku yang muncul sehingga anak mengalami proses belajar yang bermakna.

Jika pemahaman di atas dikaitkan dengan pembentukan karakter yang berdasarkan Pancasila untuk anak-anak Indonesia melalui pendidikan, secara konkrit latihan pengembangan penalaran moral dapat dilakukan misalnya guru, anak dan orangtua dapat berdiskusi, berdebat, menyampaikan opini dan saran tentang suatu isu yang berkaitan dengan moral. Salah satu contoh yang sering digunakan misalnya

“Bagaimana pendapatmu bila anak mencuri obat sebagai bentuk cinta bagi orangtua yang sakit?”.

Latihan ini membantu anak melatih penalaran moralnya berdasarkan argumen nilai moral yang ada pada ke-5 sila dalam Pancasila. Diharapkan melalui latihan ini, kesadaran moral akan karakter yang baik dan diterima oleh lingkungan sosialnya menjadi bagian dari pembelajaran yang menyenangkan dan terkondisi dengan kuat sejak usia muda dan tidak mudah bergeser dalam situasi yang sulit karena dilakukan dengan penalaran moral dan kesadaran penuh.

Benarkah melalui pendidikan dapat tumbuh generasi berkarakter Pancasila? Salah satu unsur penting adalah bahwa kita semua yang lebih dewasa mampu mendidik diri sendiri menjadi role model karakter yang memancarkan jiwa Pancasila itu sendiri.

Ditulis oleh : Dr. Lucia RM Royanto, MSi, MSpEd, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia)

Disetujui oleh : Dr. Seger Handoyo, Psikolog (Ketua Umum HIMPSI)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s