Breakthrough in LGBT (Pertemuan IPK – 10/02/16)

Topik mengenai LGBT menjadi pembicaraan hangat di berbagai kalangan di Indonesia. Pertemuan IPK bulan Februari 2016 membahas mengenai pendekatan Breakthrough yang dapat diaplikasikan dalam konteks LGBT. Materi ini disampaikan oleh Ida Pramaesti S.Psi di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Silahkan mengunduh materi BREAKTHROUGH-LGBT. Semoga bermanfaat. (CE)

Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Kesehatan Nasional pada tanggal 12 November 2015

Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional – 12 November 2015, HIMPSI kembali berpartisipasi dalam mendukung gerakan Generasi Cinta Sehat. Suara Pena kali ini dipersembahkan oleh Dra. Riza Sarasvita, M.Si, MHS, PhD, Psikolog (Pegawai Kementerian Kesehatan (Maret 1993-Juni 2015); Ketua Kompartemen Kerjasama Nasional HIMPSI).

Selamat membaca dan semoga bermanfaat! (CE)

Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Aksara Internasional pada tanggal 8 September 2015

KEMAMPUAN LITERASI DAN PEMBIASAAN BERPIKIR KRITIS

Oleh:  Dr. Lucia RM Royanto, MSi, MSpEd, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia)

Program Suara Pena Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mendukung  Hari Aksara Internasional 2015 bertema “Keaksaraan membangun Keadaban dan Keunggulan Pembangunan Berkelanjutan”, 8 September 2015

 

“Anakku sudah mau masuk sekolah tapi belum hafal abjad” atau “Kalau anakku sejak kecil sudah dilatih untuk membaca, memakai kata-kata langsung tanpa mengeja, hasilnya umur 2 tahun sudah bisa membaca” adalah sebagian dari komentar dan diskusi di kalangan orangtua. Sedemikian pentingnya kemampuan membaca dan kemampuan dasar menulis serta berhitung (calistung) seolah menentukan standar pencapaian dan pembandingan tahap perkembangan anak. Alhasil, para orangtua dan tentu saja para guru terimbas akan adanya tuntutan untuk mengupayakan agar anak segera bisa mengenal huruf dan membaca, kalau perlu tidak harus melewati proses yang panjang dan menimbulkan trauma atau frustrasi. Fenomena ini menimbulkan optimisme dan merangsang para ahli pendidikan anak untuk mengembangkan metode pengajaran membaca ini sedini mungkin dengan cara yang diharapkan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah pengajaran ideal. Hasilnya? Tidak sedikit justru hal inilah yang menyebabkan kekuatiran berlebihan orangtua, karena berdampak pula pada ukuran kepantasan penerimaan masuk sekolah yang menggunakan acuan pencapaian kemampuan mengenal huruf, mengeja, membaca abjad menjadi kata dan kemampuan merangkai kata-kata menjadi kalimat bermakna sebagai ukuran kemampuan berkomunikasi. Cukup memprihatinkan ketika anak dalam usia yang sangat muda (sekitar 2 tahun) sudah terjadwal mengikuti les membaca – bisnis yang menggiurkan sekaligus kesempatan meredakan kecemasan orangtua terhadap kemampuan membaca si anak. Tujuan orangtua adalah menyiapkan anak untuk mampu berkompetisi. Semakin banyak ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai dalam usia yang lebih muda, seolah mengkonfirmasi kehebatan orangtua dalam pengasuhan anak mereka. Benarkah kemampuan membaca dini menjadi jaminan sukses anak selanjutnya?

Hari Aksara/Literasi Internasional (International Literacy Day) yang diperingati tanggal 8 September mengingatkan kita akan pentingnya literasi atau kemampuan membaca dan menulis, serta berbahasa. Jumlah penduduk Indonesia usia 5-95 tahun yang masih buta huruf adalah 10,07% atau 19.585.303 dari total penduduk yang dapat membaca huruf Latin dan lainnya berjumlah 194.477.775 (BPS, 2014). Yang belum dapat membaca untuk kelompok umur 10-14 tahun adalah 1,7% dan kelompok 20-24 tahun adalah 1,5%. Literasi, atau kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi memungkinkan seseorang untuk maju dan terkoneksi dengan dunia luar. Literasi merupakan alat ampuh pemberdayaan pribadi dan perkembangan sosial manusia.  Banyak penelitian menunjukkan literasi  menurunkan angka kemiskinan, kematian anak, mencegah pertumbuhan penduduk, meningkatkan kesetaraan jender dan mendorong pembangunan berkelanjutan, keamanan dunia serta demokrasi (Laporan PBB, 2010).

Walikota Surabaya di tahun 2014 mencanangkan Kota Surabaya sebagai Kota Literasi. Tujuannya untuk mendorong kebiasaan masyarakat membaca selama 15 menit dalam sehari, sehingga nantinya  anak-anak memiliki bekal pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca teratur. Hal ini sejalan dengan Hari Aksara Internasional 2015 yang oleh UNESCO bertema “Literacy and Sustainable Societies” atau yang dalam bahasa Indonesia disesuaikan menjadi “Keaksaraan membangun Keadaban dan Keunggulan Pembangunan Berkelanjutan”. Lalu bagaimana kesinambungan program pemerintah ini dengan peran kita dalam keluarga menghadapi tantangan yang lebih besar?

Membaca dan menulis sesungguhnya adalah kegiatan kompleks karena melibatkan berbagai aspek. Ketika belajar membaca, seorang anak perlu mengerahkan kemampuan kognitifnya agar ia dapat mengolah data yang berupa simbol-simbol untuk dapat dimaknai sebagai huruf-huruf, kata-kata, hingga akhirnya membentuk kalimat yang bermakna. Selain faktor kognisi, faktor metakognisi juga berperan besar menangkap arti bacaan yang dibaca. Membaca juga membutuhkan atensi, minat dan motivasi, agar seorang anak dapat bertahan dan menjadi senang saat membaca. Kegemaran membaca bisa berawal dari keluarga, yaitu dari memperkenalkan, menyediakan buku-buku, membaca gambar, menceritakan dari buku, membiasakan membaca di rumah serta teladan membaca yang menjadi kebiasaan. Kegemaran membaca bisa diperoleh dari lingkungan luar rumah (teman, guru atau dari perpustakaan). Membaca memperlancar seseorang dalam mengejar pendidikan, namun membaca juga membuat individu mampu secara praktis menerapkan keterampilannya dalam kehidupan sehari-hari, atau sering disebut sebagai keterampilan fungsional.  Dengan kemampuan membaca, seseorang dapat terlibat aktif dalam kehidupan sosialnya. Bila anak yang dapat membaca, maka ia dapat bepergian mandiri karena dapat memahami rambu-rambu lalu lintas, dapat mengendarai bis umum, dapat mengenal nilai uang dan lain sebagainya.  Untuk dapat mencapai pemaknaan, tidak jarang seorang anak mengalami kesulitan, sehingga diperlukan bantuan guru, ahli tumbuh kembang, atau Psikolog, yang dapat menjadi partner dalam mengatasi permasalahan dan menjalankan program untuk menghadapi gangguan yang berkenaan dengan kemampuan literasi.

Dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan modern, melalui kemampuan baca-tulis maka seseorang dapat berdialog, berkomunikasi dan berjejaring dengan berbagai kalangan dan kelompok masyarakat dalam berbagai hal. Keterampilan literasi merupakan investasi masa depan yang memungkinkan suatu bangsa untuk maju. Meskipun demikian, dengan dikuasainya keterampilan literasi bukan berarti tidak ada dampak negatif yang muncul. Perkembangan teknologi yang pesat meningkatkan menggunakan komputer, gadget seperti tablet dan smartphone. Dampak negatif seringkali terjadi dari penggunaan peralatan-peralatan tersebut, karena dunia yang dihadapi manusia menjadi semakin tidak bertepi. Semua orang dapat berhubungan dengan semua orang dari berbagai belahan dunia yang memiliki karakteristik, motivasi dan tujuan berbeda-beda. Fakta yang memprihatinkan saat ini adalah justru teknologi modern ini digunakan untuk membantu anak belajar mengenal huruf kemudian membaca. Lihatlah di sekeliling kita, trend penggunaan gadget sudah merambah anak-anak dan mampu membuat mereka ‘tenang’. Saat anak-anak bebas dari buta huruf, mereka membaca dan menyerap informasi setiap saat. Tantangan terbesar saat masyarakat sudah bebas buta huruf terletak pada kemampuan memfilter informasi yang dibaca dan menyampaikan buah pikir yang baik. Modus penipuan dilakukan dengan menggunakan bahasa yang menarik dan canggih, sehingga banyak orang terperosok, tertipu, ataupun mengambil keputusan yang salah. Media sosial dan layanan pesan singkat seluler kerap digunakan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab dan yang punya niat buruk untuk menyebarkan informasi yang tidak benar atau tidak pantas.

Menyikapi tantangan tersebut, kita semua perlu lebih kritis dan tidak mudah terlena oleh ajakan-ajakan yang disampaikan melalui tulisan atau bacaan. Jika dikembalikan pada pengasuhan dini, pembiasan untuk berpikir kritis terjadi di lingkungan terkecil yaitu keluarga, namun juga dapat melalui sekolah, ataupun masyarakat. Melalui program-program parenting, orangtua dilatih untuk mendampingi anak mengembangkan sikap kritis ketika membaca suatu informasi agar meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga tidak mudah terbujuk atau tertipu oleh apa yang dibacanya.  Orangtua juga harus terlibat dalam pemilihan buku-buku yang dibaca anak. Sementara itu, guru di sekolah dan masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial. Ketika melihat ada yang kurang sesuai dalam lingkungannya, misalnya spanduk yang bertuliskan bujukan atau hasutan, atau berita miring yang disampaikan melalui media sosial, maka ada baiknya mereka melakukan suatu aksi agar tidak banyak orang yang terpengaruh. Pendidikan masyarakat, dalam hal ini dapat dilakukan agar masyarakat mengembangkan nilai yang positif. Jika ditemukan kesulitan dan gangguan dalam pencapaian kemampuan literasi, maka sangat disarankan agar orangtua berkonsultasi segera kepada Psikolog bidang spesialisasi yang sesuai agar bisa dilakukan intervensi dini atas kesulitan atau gangguan tersebut.

Melalui peringatan Hari Aksara/Literasi Internasional ini, kita semua diingatkan bahwa melalui literasi dan berpikir kritis, bangsa Indonesia dapat semakin mengembangkan kualitas diri melalui kemampuan untuk mengantisipasi resiko dan konsekuensi dari informasi yang diserap tiap saat.

Disetujui oleh : Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum HIMPSI)

Editor : Josephine M.J. Ratna, MPsych, PhD

Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Ulang Tahun HIMPSI ke-56 pada tanggal 11 Juli 2015

WITH HIMPSI WE GROW – BERKEMBANG BERSAMA HIMPSI

Oleh: Dr. Seger Handoyo, Psikolog – Ketua Umum HIMPSI

Program Suara Pena Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dalam rangka Hari Ulang Tahun HIMPSI ke-56,  11 Juli 2015

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa usia HIMPSI tahun ini sudah 56 tahun. Pada tahun 1959 HIMPSI masih bernama ISPsi yang merupakan kepanjangan dari Ikatan Sarjana Psikologi. Ikatan tersebut didirikan oleh beberapa alumni Psikologi UI yang waktu itu masih berada di bawah Fakultas Kedokteran UI. Usaha yang sangat baik dari alumni-alumni awal Psikologi UI. Walaupun tidak ada dokumen yang dapat diperoleh saat ini tentang mengapa mereka mendirikan Ikatan itu, namun dapat diduga bahwa pendirian Ikatan tersebut adalah untuk berhimpun sehingga dapat saling menguatkan satu dengan yang lain, belajar bersama untuk mengembangkan diri menghadapi tuntutan dan tantangan pada masa itu.

Dua puluh tahun kemudian sejak Ikatan Sarjana Psikologi didirikan, Ikatan tersebut  berkembang menjadi organisasi yang semakin mantap. Hal itu ditunjukkan dengan keberhasilan menyelenggarakan kongres organisasi pertama Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia di Yogyakarta tahun 1979. Sembilan belas tahun sejak kongres pertama, tepatnya tahun 1998 evolusi Ikatan Sarjana Psikologi berlanjut. Kongres Luar Biasa Ikatan Sarjana Psikologi diselenggarakan di Jakarta memutuskan perubahan nama dari Ikatan Sarjana Psikologi menjadi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Perubahan itu harus dilakukan sebagai konsekuensi perubahan sistem pendidikan Psikologi yang sejak tahun 1994 dipisahkan pendidikan Psikologi jenjang S1 dengan pendidikan profesi Psikologi. Dengan sistem pendidikan tersebut, terdapat dua kelompok lulusan pendidikan Psikologi, yaitu lulusan pendidikan Psikologi jenjang S1 dengan gelar akademik Sarjana Psikologi dan lulusan pendidikan profesi dengan sebutan Psikolog. Konsekuensinya nama Ikatan Sarjana Psikologi dipandang tidak tepat lagi karena harus menaungi dua anggota yaitu Sarjana Psikologi dan Psikolog. Dalam perkembangannya, yang dapat menjadi anggota biasa HIMPSI adalah Psikolog, Sarjana Psikologi, dan Sarjana bidang ilmu lain dengan pendidikan S2 dan/atau S3 dari program studi Psikologi. Pembedaan kewenangan praktek dan sebutan Psikolog dapat dilihat dari pencantuman sebutan Psikolog di belakang nama dan gelar akademik yang bersangkutan. Tidak semua lulusan psikologi adalah Psikolog dan tidak semua Psikolog mengantongi Surat Ijin Praktek Psikologi (SIPP) yang dikeluarkan oleh HIMPSI.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) sebagai sebuah organisasi saat ini telah menjadi organisasi yang semakin mantap dengan telah diakui oleh Negara sebagai organisasi berbadan hukum perkumpulan melalui SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesai Nomer AHU-169.AH.01.07 Tahun 2013 tanggal 30 Agustus 2013. Sebagai satu-satunya organisasi profesi independen, sebagai wadah berhimpunnya ahli dalam bidang praktik psikologi (Psikolog) dan keilmuan psikologi (Ilmuwan Psikologi) se-Indonesia yang telah berbadan hukum perkumpulan, HIMPSI harus menata internalnya agar seluruh tata kelola organisasinya dapat menjadi good corporate governance, atau “internal kuat” dalam bahasa sederhana yang disampaikan oleh para Ketua dari 25 HIMPSI Wilayah dan 13 Asosiasi/Ikatan Minat Keilmuan dan/atau Praktik Spesialisasi Psikologi pada Rapat Koordinasi HIMPSI yang lalu.

 

Tata kelola yang baik diperlukan untuk mengatur kerja dan koordinasi perangkat organisasi HIMPSI yang terdiri dari Pengurus Pusat HIMPSI, Pengurus Wilayah HIMPSI, Pengurus Asosiasi/Ikatan Minat Keilmuan dan/atau Praktik Spesialisasi Psikologi dan Majelis Psikologi. Tata kelola yang baik harus dilakukan dengan penggunaan teknologi informasi dan sistem perbankan. Awal tahun 2016, pengelolaan anggota termasuk databasenya akan menggunakan teknologi informasi dan sistem perbankan. Prosedur organisasi dalam konteks HIMPSI sebagai badan hukum perkumpulan sejak tahun 2015 ini mulai dibuat dan akan dikodifikasikan dalam keputusan organisasi.

Bagaimanapun, tata kelola yang baik itu harus memberikan dampak pada anggota berupa manfaat yang diperolehnya sebagai anggota HIMPSI dengan cara mengembangkan dan melindungi anggotanya agar dapat memberikan kemampuan terbaik untuk melayani masyarakat dan bersaing dengan psikolog dan lulusan psikologi luar negeri baik untuk bekerja di Indonesia maupun di luar negeri dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Program Pendidikan Berkelanjutan dan Pelatihan Psikologi dikembangkan untuk secara sistematis meningkatkan kompetensi anggota HIMPSI dengan memberikan Sertifikat Kompetensi dan Sertifikat Profesi sebagai bentuk pengakuan kompetensi. Bulan ketiga tahun 2016, program ini akan mulai diluncurkan. Pengembangan program ini dilakukan bersama dengan Asosiasi/Ikatan dan pelaksanaannya pada tahun depan akan dilakukan dengan seluruh perangkat organisasi HIMPSI dan juga dengan Program Studi Psikologi seluruh Indonesia serta lembaga pelatihan Psikologi. Majelis Psikologi juga telah mulai mengembangkan Standar Prosedur Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Psikologi dan Pedoman Etika untuk memberikan perlindungan kepada anggota.

Pengembangan anggota juga dimulai dari proses pendidikan Psikologi baik di tahap pendidikan Sarjana dan terlebih di tahap pendidikan Magister Psikologi Profesi. HIMPSI telah memulai program pengembangan ini dengan melakukan penandatangan kerjasama dengan Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) dan dengan lebih dari 80 (delapanpuluh) Program Studi dan Fakultas Psikologi di Indonesia pada bulan April 2015 lalu dalam hal standarisasi pendidikan psikologi dan publikasi psikologi. Standarisasi pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Psikologi (PKPP) dan pengujiannya juga menjadi salah satu program untuk peningkatan kualitas psikolog Indonesia dan untuk ini HIMPSI bersama AP2TPI bekerjasama dengan 19 universitas yang memiliki pendidikan profesi psikologi.

Selain memberikan manfaat bagi anggota, tata kelola HIMPSI yang baik juga harus memberikan manfaat pada bangsa Indonesia. HIMPSI harus menjadi organisasi yang secara “eksternal hebat”. Kehebatan eksternal HIMPSI harus ditunjukkan dengan karyanya untuk bangsa. HIMPSI telah memulai memberikan karyanya untuk bangsa dengan terbitnya buku berjudul “Revolusi Mental: Makna dan Realisasinya”. Kumpulan tulisan dalam buku ini menjadi bukti atas luasnya peran psikologi dalam berbagai perspektif peristiwa dan kondisi yang secara sadar atau tidak ikut membentuk sikap dan perilaku bangsa.

Selain itu, melalui dan bersama dengan HIMPSI Wilayah, HIMPSI memberikan layanan pendampingan psikologi pada berbagai peristiwa yang terjadi seperti bencana tanah longsor di Purwokerto, kecelakaan pesawat terbang Air Asia dan pesawat Hercules, dan juga memberikan bantuan psikologi untuk pengungsi Rohingnya di Aceh. Secara berkala, program Suara Pena HIMPSI merupakan partisipasi anggota HIMPSI dalam penulisan artikel psikoedukasi untuk konsumsi masyarakat luas Masyarakat diajak belajar bersama tentang peran psikologi berkenaan dengan topik yang diangkat sesuai peringatan hari besar nasional dan internasional. Anggota HIMPSI dan masyarakat dapat menggunakan artikel yang telah disebarkan tersebut untuk menjadi bahan diskusi atau dipublikasikan kembali dalam kegiatan yang relevan dengan seijin HIMPSI.

Kehebatan eksternal perlu didorong melalui  jalinan kerjasama baik di tingkat nasional maupun internasiona. Di tingkat nasional HIMPSI bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Kementerian Kesehatan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kepolisian Indonesia, dan berbagai instansi lain. HIMPSI membuka diri untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak demi menjawab tantangan implementasi keilmuan dan profesi Psikologi yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Di tingkat ASEAN, HIMPSI memperkuat jalinan kerjasama internasional dengan berbagai organisasi profesi di ASEAN melalui ASEAN Regional Union of Psychological Society (ARUPS) dan International Union of Psychological Societies (IUPsyS). Kerjasama dengan organisasi profesi sejenis di tingkat ASEAN ini nantinya akan membuahkan sistem pengakuan kualifikasi, kompetensi profesi dan juga registrasi bagi anggota untuk dapat memberikan layanan psikologi di wilayah ASEAN. Ke depannya HIMPSI akan terus berupaya mengembangkan kerjasama internasional yang membuka peluang belajar dan  pengembangan kompetensi anggota melalui berbagai kegiatan seminar,workshop, pengabdian masyarakat dan lainnya. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan psikologi yang bisa dinikmati oleh masyarakat dalam berbagai bidang.

Masa kini dapat disebut sebagai Abad Psikologi (The Psychological Century). Kebutuhan psikologi bagi individu, masyarakat, dan bangsa semakin dirasakan sangat penting. Segala persoalan yang terjadi seakan memanggil psikologi untuk turut serta menyelesaikannya. Psikologi yang oleh almarhum Ino Yuwono salah satu dosen di Fakultas Psikologi UNAIR disebut sebagai hanya “bunga ban” menjadi sangat dibutuhkan dalam kondisi masyarakat dan bangsa yang tidak sehat. Ibarat mobil yang berjalan di kondisi jalan yang licin, “bunga ban” menjadi penting agar mobil tidak tergelincir. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan peran psikologi agar bangsa ini dapat bergerak menjadi bangsa yang lebih berintegritas, produktif, inovatif, dan sejahtera baik secara ekonomis maupun psikologis. Tidaklah berlebihan apabila pada hari ulang tahun ke-56 HIMPSI tahun ini, HIMPSI menyerukan kepada seluruh warga Psikologi: Ayo bergabung bersama HIMPSI untuk mengembangkan diri agar dapat memberikan sumbangan lebih besar bagi bangsa Indonesia yang membutuhkan karya kita!”

Selamat ulang tahun ke-56 Himpunan Psikologi Indonesia, mari Berkembang Bersama HIMPSI. Maju terus Psikologi Indonesia.

Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015

PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PENANAMAN BENIH KARAKTER ANAK INDONESIA

Keluarga besar Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ikut mendukung Hari Pendidikan Nasional bertema “Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”

2 Mei 2015

Pembinaan karakter manusia Indonesia sudah menunjukkan urgensi sehingga muncul berbagai gerakan yang diharapkan dapat memperbaiki karakter individu. Semangat memperbaiki etos kerja dan meningkatkan karakter pekerjanya nampak di berbagai instansi yang memasang visi, misi dan filosofi kerja yang berlaku. Di sekolah-sekolah pun banyak slogan dipampang untuk mengingatkan siswa agar belajar lebih rajin, lebih disiplin, menjaga kebersihan dan kerapihan diri. Tujuannya agar peserta didik ingat bahwa untuk menjadi lebih baik, mereka perlu menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Pembentukan karakter harus melewati suatu proses belajar yang membutuhkan latihan dan pengulangan.

Pada masyarakat tradisional, pembentukan karakter dilakukan melalui penanaman rasa malu. Hal ini terlihat dari penggunaan kata ora ilok, ngisin-isini dalam bahasa Jawa atau siri dalam bahasa Bugis. Seorang anak berusaha mencapai nilai baik karena tidak ingin merasa malu di hadapan teman-temannya, sehingga ia membiasakan diri untuk memperhatikan guru, belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah agar tidak harus malu atas kegagalan. Jika toh gagal, karakter perilaku yang baik ini tidak membuatnya harus menanggung malu. Namun dalam prakteknya, masih banyak contoh perilaku tidak berkarakter tersaji dalam keseharian, misalnya melanggar lampu lalu lintas dan melawan arus di jalan raya; atau korupsi waktu-uang, bullying terhadap rekan kerja dan sebagainya. Apakah sudah luntur rasa malu di masyarakat kita, sehingga menyaksikan perilaku tak berkarakter menjadi pemandangan yang biasa?

Secara psikologis rasa malu atau rasa bersalah seseorang didasari oleh emosi moral yang terdiri dari emosi malu dan emosi bersalah. Emosi moral diperlukan untuk menjembatani standar moral yang dianut seseorang dengan perilaku moral yang ditampilkannya. Gambaran pengetahuan dan internalisasi dari norma moral yang dimiliki oleh seorang individu disebut sebagai standar moral (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Standar moral yang dimiliki oleh seorang individu sebagian didikte oleh hukum moral universal, dan sebagian lagi dibentuk oleh larangan-larangan spesifik dalam sebuah budaya.

Menurut Tangney (1999), emosi malu merupakan internalisasi emosi negatif yang dialami individu saat ia gagal memenuhi aturan sosial. Emosi malu memunculkan perasaan negatif yang tidak menyenangkan yang kemudian memotivasi individu untuk menghindar dan melarikan diri dari situasi tersebut. Lingkungan sosial berperan penting dalam memunculkan emosi malu. Keluarga atau lingkungan mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang salah itu memalukan. Tracy dan Robins (2004) memandang emosi bersalah justru mendorong individu untuk memperbaiki tindakannya, bukan menghindar, artinya ada unsur konstruktif ketika seseorang merasa bersalah.

Untuk membangun karakter, emosi malu dan emosi bersalah sebagai bagian dari emosi moral sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan terkait dengan situasi sosial. Munculnya emosi malu dan emosi bersalah bersumber dan dipelajari dari keluarga, pendidikan, situasi kerja dan sebagainya. Benar-salah, baik-buruk seharusnya diajarkan secara eksplisit baik di rumah maupun di sekolah, bukan merupakan hidden curriculum. Dengan hanya menekankan penanaman emosi malu tanpa diikuti oleh bagaimana konstruksi karakter yang positif sebagai reaksi terhadap emosi malu tersebut, anak membangun pandangan diri negatif serta kurang/sulit mengembangkan harga diri.

Menurut Aristoteles, agar dapat tertanam karakter yang baik pada individu, maka ia perlu memiliki kebajikan intelektual, yaitu seseorang secara aktif melatih kemampuan nalarnya. Dengan melatih kemampuan berpikir, maka seseorang dapat mengatur impuls-impuls dan keinginannya menjadi lebih bijak dan menunjukkan karakter moral yang baik. Keluarga dan sekolah sebagai setting pendidikan perlu mengajarkan standar perilaku dan pengajarannya melalui aktivitas yang kontekstual, yaitu sesuai dengan budaya dan nilai yang berlaku (Vygotsky, 1978).

Penanaman emosi moral secara sistematis dapat dilakukan melalui pengembangan moral reasoning (penalaran moral) anak. Penalaran moral merupakan proses sistematik yang dilakukan untuk mengevaluasi kebajikan pribadi dan mengembangkan serangkaian prinsip moral secara konsisten dan obyektif (Lumpkin, 2003, dalam Lumpkin, 2008). Caranya dengan mulai mendiskusikan suatu isu secara aktif dalam berbagai situasi. Vygotsky (1978) menegaskan pentingnya anak secara aktif mengkonstruk pikirannya, kemudian menilai situasi dan perilaku yang muncul sehingga anak mengalami proses belajar yang bermakna.

Jika pemahaman di atas dikaitkan dengan pembentukan karakter yang berdasarkan Pancasila untuk anak-anak Indonesia melalui pendidikan, secara konkrit latihan pengembangan penalaran moral dapat dilakukan misalnya guru, anak dan orangtua dapat berdiskusi, berdebat, menyampaikan opini dan saran tentang suatu isu yang berkaitan dengan moral. Salah satu contoh yang sering digunakan misalnya

“Bagaimana pendapatmu bila anak mencuri obat sebagai bentuk cinta bagi orangtua yang sakit?”.

Latihan ini membantu anak melatih penalaran moralnya berdasarkan argumen nilai moral yang ada pada ke-5 sila dalam Pancasila. Diharapkan melalui latihan ini, kesadaran moral akan karakter yang baik dan diterima oleh lingkungan sosialnya menjadi bagian dari pembelajaran yang menyenangkan dan terkondisi dengan kuat sejak usia muda dan tidak mudah bergeser dalam situasi yang sulit karena dilakukan dengan penalaran moral dan kesadaran penuh.

Benarkah melalui pendidikan dapat tumbuh generasi berkarakter Pancasila? Salah satu unsur penting adalah bahwa kita semua yang lebih dewasa mampu mendidik diri sendiri menjadi role model karakter yang memancarkan jiwa Pancasila itu sendiri.

Ditulis oleh : Dr. Lucia RM Royanto, MSi, MSpEd, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia)

Disetujui oleh : Dr. Seger Handoyo, Psikolog (Ketua Umum HIMPSI)

World Autism Awareness Day – 2 April 2015

Penanganan Dini 7 Tahun Pertama Bagi Anak dengan Autisme :
Kunci Keberhasilan di Tahap Selanjutnya

Keluarga besar Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ikut mendukung
World Autism Awareness Day bertema “How to Spot the Signs of Autism in Children”
2 April 2015

Impian setiap ayah bunda adalah mendapatkan momongan yang sempurna secara fisik dan psikologis. Tangisan anak di awal kelahiran seolah mencuatkan harapan bagi kedua orangtuanya untuk menyaksikan tumbuh kembang buah hati mereka sesuai harapan ideal di awal. Namun ketika orangtua mendapati bahwa sang ananda nampak ‘berbeda’, dua respon yang biasa terjadi yaitu seolah tidak menganggap perbedaan itu adalah hal yang perlu segera disikapi (denial) atau bisa menerima perbedaan dan mencari jalan keluar (acceptance). Menurut data terkini yang dirilis oleh Centre of Disease Control (CDS) di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi (angka kejadian) autisme adalah 1 dari 68 anak atau secara lebih spesifik adalah 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan. Angka kejadian ini cukup mengkuatirkan dan merupakan tantangan besar bagi profesi Psikolog khususnya untuk mengantisipasi segera deteksi dan intervensi dini yang tepat.

Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah sebutan lengkap dari gangguan autisme, yang sesungguhnya terdiri dari beberapa macam gangguan. Deteksi dini atas gangguan ini akan sangat menentukan tumbuh kembang anak tersebut selanjutnya. Jika didapati anak berusia di bawah dua tahun dengan kesulitan melakukan interaksi sosial (tidak bisa bermain dengan teman sebayanya), gangguan komunikasi (verbal dan non-verbal) – belum dapat berbicara atau menyampaikan keinginan secara tepat, tidak mudah memahami sesuatu, tidak merespon ketika diajak berbicara, tidak menatap atau melakukan kontak mata, yang terkadang juga diikuti gangguan sensoris dan motorik, maka sebaiknya orangtua segera memeriksakan keadaan anaknya dan tidak mendiamkan atau sekedar berharap agar semuanya akan hilang dengan berjalannya waktu atau malah menjadi panik dan marah. Tiap anak menunjukkan derajat gangguan dan kesulitan yang berbeda dan oleh karenanya orangtua perlu merespon cepat dan tepat agar tidak kehilangan waktu menata penanganan yang dibutuhkan ananda. Akumulasi dari gangguan yang tidak ditangani dini akan berakibat pada tumbuh kembang anak yang tidak optimal dan permasalahan yang lebih kompleks di kemudian hari dengan biaya yang cukup tinggi.

Di negara maju seperti Amerika, Eropa, Canada dan Australia, pemerintahnya terlibat secara proaktif dalam penanganan anak dengan autisme. Intervensi dini sudah terintegrasi dan bahkan diatur secara terstruktur yang menyangkut berbagai institusi (kesehatan, pendidikan, dan sosial) serta profesi dari berbagai bidang (Kedokteran, Psikologi, Terapi Okupasi dan Patologi Wicara). Sebagai gambaran, Pemerintah Australia mengatur bahwa setiap anak dengan autisme berhak mendapatkan bantuan dana sampai dengan AUD 12,000 dengan maksimum AUD 6,000/tahun untuk mendapatkan penanganan yang tepat sampai usia 7 tahun. Intervensi yang dijalani anak sampai dengan usia pra SD ini menjadi bagian yang terintegrasi dengan pendidikan setingkat taman bermain sampai dengan taman kanak-kanak. Mengapa begitu besar dana yang diberikan per anak dan mengapa sampai usia 7 tahun? Alasan utamanya adalah ada waktu 7 tahun untuk menyiapkan anak mampu secara mandiri bergabung dengan teman sebayanya di sekolah dasar umum. Tujuh tahun intervensi secara terus menerus sebelum memasuki pendidikan dasar membekali anak dengan autisme kemampuan belajar bersama anak lain dan ketrampilan dasar yang cukup untuk beradaptasi dalam pendidikan dasar, menengah dan bahkan saat mereka harus mencari bidang kerja yang sesuai. Dalam 7 tahun pertama ini pula orangtua mendapatkan pendampingan secara simultan saat anak mereka menjalani intervensi. Diharapkan beban pemerintah dalam hal ikut mengatasi persoalan sosial di masa mendatang akan berkurang bila anak-anak dengan autisme ini sudah mendapatkan penganganan dini yang baik. Pemerintah tidak harus menanggung hidup mereka nantinya diharapkan mampu mencari nafkah sendiri dan tidak membebani orangtua. Orangtua juga belajar merespon secara tepat, memahami kesulitan yang dialami anak, mempunyai wawasan yang lebih luas dalam melihat ‘keunikan’ buah hati mereka dan bukan menjadi malu atas kondisi buah hati mereka.

Bagaimana dengan penanganan autisme di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia? Menurut laporan World Bank tahun 2014, Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 249 juta jiwa, negara dengan populasi ke-4 terbesar setelah China, USA, dan India. Dengan jumlah penduduk yang besar, peningkatan angka kejadian autisme juga merupakan tantangan tersendiri bagi profesi yang bergerak dibidang penanganan autisme untuk memberikan layanan yang memadai terutama terkait besarnya biaya untuk proses skrining, diagnosa dan belum terintegrasinya intervensi efektif dalam penanganan autisme. Pemerintah Indonesia sendiri telah merespon positif dengan munculnya Pusat Terapi Autisme di beberapa kabupaten yang dari waktu ke waktu terus mengalami penyempurnaan. Berbagai profesi yang memberikan pelayanan terkait untuk terus berbenah dan meningkatkan kemampuan/ketrampilan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik. Pusat terapi autisme swasta yang ada juga berperan penting dalam menyelenggarakan intervensi. Perlu diakui bahwa banyak kendala dan tantangan yang mempengaruhi keberhasilan penanganan autisme di semua pusat terapi yang menjadi PR bagi kita semua dan salah satu upayanya adalah terus belajar dari mereka yang lebih ahli dan mengadaptasi terapi yang sudah terbukti efektivitasnya dengan memasukan kesesuaian dengan nilai dan budaya Indonesia.

Kenyataan ini hendaklah tidak membuat orangtua berkecil hati karena menganggap bahwa terapi autisme yang ada di Indonesia belum memadai. Sebaliknya hendaknya hal ini menjadi cambuk bagi kita semua untuk menunjukkan komitmen dan dedikasi untuk terus berjuang bersama dalam menyempurnakan efektivitas berbagai jenis terapi dan layanan yang disediakan. Namun, perlu diingat bahwa tiap anak unik dan pendekatan yang efektif untuk seorang anak bukan jaminan menjadi terapi terbaik bagi anak lainnya.

Intervensi dini yang tepat sangat tergantung pada ketepatan proses skrining dan penegakan diagnosa yang benar. Berbagai upaya dilakukan untuk menemukan cara skrining yang efektif yang sesuai dengan nilai dan budaya Indonesia dengan biaya yang terjangkau. Bersyukurlah kita bahwa akan segera dimungkinkan adanya proses skrining yang cukup efektif berdasarkan hasil penelitian mendalam yang dilakukan oleh salah satu anggota HIMPSI. Adanya alat ukur ini nantinya akan mendukung penegakan diagnosa dan kemudian terapi yang tepat yang saat ini sudah dijalankan dengan komitmen tinggi oleh anggota HIMPSI diberbagai daerah.

Akhirnya, efektivitas penanganan autisme akan berpulang pada beberapa aspek antara lain peningkatan kemampuan dan ketrampilan terapis dalam mengaplikasikan berbagai teknik dan metode yang ada, dukungan pemerintah dalam hal regulasi dan fasilitas serta utamanya pada adanya kerjasama yang harmonis dengan orangtua. Tiap anak membutuhkan rencana program intervensi individual dengan prioritas yang berbeda antara satu anak dengan lainnya dan orangtualah yang sesungguhnya merupakan terapis utama di rumah. Oleh karena itu orangtua yang mendeteksi bahwa anak mereka menunjukkan proses tumbuh kembang yang ‘berbeda’ dengan anak lainnya, usahakan untuk:
1. Tenang (tidak perlu panik dan mencari pembenaran) dan menerima kenyataan;
2. Mencatat secara rinci kesulitan dan gangguan yang dialami anak;
3. Mengkonsultasikan pada ahli tumbuh kembang anak seperti Dokter spesialis tumbuh kembang anak atau Psikolog;
4. Bekerjasama dengan terapis membuat rencana program individual dan target yang ingin dicapai;
5. Proaktif ikut belajar menjalankan dan melatih anak di lingkungan rumah sesuai metode yang disarankan;
6. Bersikap optimis terhadap anak dan terapis;
7. Menghargai kemajuan (walau kecil) yang dicapai oleh anak; dan
8. Mengikutsertakan anggota keluarga lain untuk lebih memahami kesulitan anak dan memberikan dukungan positif selama proses intervensi dan ikut memikirkan solusi jangka panjang

Peringatan Hari Peduli Autisme 2015 kembali mengingatkan kita semua bahwa permasalahan penanganan anak berkebutuhan khusus, terutama autisme bukan tugas dokter, psikolog dan guru saja, melainkan menjadi tugas kita bersama. Bagi orangtua dari anak dengan autisme, percayalah Anda tidak sendiri menghadapi situasi ini dan mari bergandengan untuk belajar bersama guna lebih memahami ‘kekuatan’ yang ada dibalik kondisi kekhususan buah hati kita. Kita punya waktu sampai anak berusia 7 tahun untuk bersama memberikan penanganan yang paling sesuai dan mempersiapkan mereka untuk mampu mandiri.

Kontributor tulisan:

Asteria Ratnawati Saroinsong S.Psi,Psikolog ; Fransisca Febriana Sidjaja, MPsi, Psikolog

Ditulis oleh :
Josephine M.J. Ratna, MPsych, Psikolog (Sekjen HIMPSI)

Disetujui oleh :
Dr. Seger Handoyo (Ketua Umum HIMPSI)

HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
http://www.himpsi.or.id

SIlahkan mengunduh versi PDF artikel di atas.