Workshop Photovoice

Di akhir tahun 2015, IPK Jatim kembali menghadirkan sebuah pelatihan yang berbeda, yaitu teknik Photovoice bagi para anggotanya. Dalam pelatihan ini, peserta memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai pendekatan Photovoice dan disampaikan oleh Dr. Josephine Ratna, M. Psych., PhD.

Berikut terdapat beberapa bahan bacaan terkait dengan Photovoice. Semoga bermanfaat. (CE)

Evidence-Based Advocacy Using Photovoice to Identify Barriers and Facilitators to Community Participation After Spinal Cord Injury

Wang_(1997)

PHOTOVOICE Surabaya 17 December 2015

Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Kesehatan Nasional pada tanggal 12 November 2015

Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional – 12 November 2015, HIMPSI kembali berpartisipasi dalam mendukung gerakan Generasi Cinta Sehat. Suara Pena kali ini dipersembahkan oleh Dra. Riza Sarasvita, M.Si, MHS, PhD, Psikolog (Pegawai Kementerian Kesehatan (Maret 1993-Juni 2015); Ketua Kompartemen Kerjasama Nasional HIMPSI).

Selamat membaca dan semoga bermanfaat! (CE)

Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Ulang Tahun HIMPSI ke-56 pada tanggal 11 Juli 2015

WITH HIMPSI WE GROW – BERKEMBANG BERSAMA HIMPSI

Oleh: Dr. Seger Handoyo, Psikolog – Ketua Umum HIMPSI

Program Suara Pena Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dalam rangka Hari Ulang Tahun HIMPSI ke-56,  11 Juli 2015

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa usia HIMPSI tahun ini sudah 56 tahun. Pada tahun 1959 HIMPSI masih bernama ISPsi yang merupakan kepanjangan dari Ikatan Sarjana Psikologi. Ikatan tersebut didirikan oleh beberapa alumni Psikologi UI yang waktu itu masih berada di bawah Fakultas Kedokteran UI. Usaha yang sangat baik dari alumni-alumni awal Psikologi UI. Walaupun tidak ada dokumen yang dapat diperoleh saat ini tentang mengapa mereka mendirikan Ikatan itu, namun dapat diduga bahwa pendirian Ikatan tersebut adalah untuk berhimpun sehingga dapat saling menguatkan satu dengan yang lain, belajar bersama untuk mengembangkan diri menghadapi tuntutan dan tantangan pada masa itu.

Dua puluh tahun kemudian sejak Ikatan Sarjana Psikologi didirikan, Ikatan tersebut  berkembang menjadi organisasi yang semakin mantap. Hal itu ditunjukkan dengan keberhasilan menyelenggarakan kongres organisasi pertama Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia di Yogyakarta tahun 1979. Sembilan belas tahun sejak kongres pertama, tepatnya tahun 1998 evolusi Ikatan Sarjana Psikologi berlanjut. Kongres Luar Biasa Ikatan Sarjana Psikologi diselenggarakan di Jakarta memutuskan perubahan nama dari Ikatan Sarjana Psikologi menjadi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Perubahan itu harus dilakukan sebagai konsekuensi perubahan sistem pendidikan Psikologi yang sejak tahun 1994 dipisahkan pendidikan Psikologi jenjang S1 dengan pendidikan profesi Psikologi. Dengan sistem pendidikan tersebut, terdapat dua kelompok lulusan pendidikan Psikologi, yaitu lulusan pendidikan Psikologi jenjang S1 dengan gelar akademik Sarjana Psikologi dan lulusan pendidikan profesi dengan sebutan Psikolog. Konsekuensinya nama Ikatan Sarjana Psikologi dipandang tidak tepat lagi karena harus menaungi dua anggota yaitu Sarjana Psikologi dan Psikolog. Dalam perkembangannya, yang dapat menjadi anggota biasa HIMPSI adalah Psikolog, Sarjana Psikologi, dan Sarjana bidang ilmu lain dengan pendidikan S2 dan/atau S3 dari program studi Psikologi. Pembedaan kewenangan praktek dan sebutan Psikolog dapat dilihat dari pencantuman sebutan Psikolog di belakang nama dan gelar akademik yang bersangkutan. Tidak semua lulusan psikologi adalah Psikolog dan tidak semua Psikolog mengantongi Surat Ijin Praktek Psikologi (SIPP) yang dikeluarkan oleh HIMPSI.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) sebagai sebuah organisasi saat ini telah menjadi organisasi yang semakin mantap dengan telah diakui oleh Negara sebagai organisasi berbadan hukum perkumpulan melalui SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesai Nomer AHU-169.AH.01.07 Tahun 2013 tanggal 30 Agustus 2013. Sebagai satu-satunya organisasi profesi independen, sebagai wadah berhimpunnya ahli dalam bidang praktik psikologi (Psikolog) dan keilmuan psikologi (Ilmuwan Psikologi) se-Indonesia yang telah berbadan hukum perkumpulan, HIMPSI harus menata internalnya agar seluruh tata kelola organisasinya dapat menjadi good corporate governance, atau “internal kuat” dalam bahasa sederhana yang disampaikan oleh para Ketua dari 25 HIMPSI Wilayah dan 13 Asosiasi/Ikatan Minat Keilmuan dan/atau Praktik Spesialisasi Psikologi pada Rapat Koordinasi HIMPSI yang lalu.

 

Tata kelola yang baik diperlukan untuk mengatur kerja dan koordinasi perangkat organisasi HIMPSI yang terdiri dari Pengurus Pusat HIMPSI, Pengurus Wilayah HIMPSI, Pengurus Asosiasi/Ikatan Minat Keilmuan dan/atau Praktik Spesialisasi Psikologi dan Majelis Psikologi. Tata kelola yang baik harus dilakukan dengan penggunaan teknologi informasi dan sistem perbankan. Awal tahun 2016, pengelolaan anggota termasuk databasenya akan menggunakan teknologi informasi dan sistem perbankan. Prosedur organisasi dalam konteks HIMPSI sebagai badan hukum perkumpulan sejak tahun 2015 ini mulai dibuat dan akan dikodifikasikan dalam keputusan organisasi.

Bagaimanapun, tata kelola yang baik itu harus memberikan dampak pada anggota berupa manfaat yang diperolehnya sebagai anggota HIMPSI dengan cara mengembangkan dan melindungi anggotanya agar dapat memberikan kemampuan terbaik untuk melayani masyarakat dan bersaing dengan psikolog dan lulusan psikologi luar negeri baik untuk bekerja di Indonesia maupun di luar negeri dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Program Pendidikan Berkelanjutan dan Pelatihan Psikologi dikembangkan untuk secara sistematis meningkatkan kompetensi anggota HIMPSI dengan memberikan Sertifikat Kompetensi dan Sertifikat Profesi sebagai bentuk pengakuan kompetensi. Bulan ketiga tahun 2016, program ini akan mulai diluncurkan. Pengembangan program ini dilakukan bersama dengan Asosiasi/Ikatan dan pelaksanaannya pada tahun depan akan dilakukan dengan seluruh perangkat organisasi HIMPSI dan juga dengan Program Studi Psikologi seluruh Indonesia serta lembaga pelatihan Psikologi. Majelis Psikologi juga telah mulai mengembangkan Standar Prosedur Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Psikologi dan Pedoman Etika untuk memberikan perlindungan kepada anggota.

Pengembangan anggota juga dimulai dari proses pendidikan Psikologi baik di tahap pendidikan Sarjana dan terlebih di tahap pendidikan Magister Psikologi Profesi. HIMPSI telah memulai program pengembangan ini dengan melakukan penandatangan kerjasama dengan Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) dan dengan lebih dari 80 (delapanpuluh) Program Studi dan Fakultas Psikologi di Indonesia pada bulan April 2015 lalu dalam hal standarisasi pendidikan psikologi dan publikasi psikologi. Standarisasi pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Psikologi (PKPP) dan pengujiannya juga menjadi salah satu program untuk peningkatan kualitas psikolog Indonesia dan untuk ini HIMPSI bersama AP2TPI bekerjasama dengan 19 universitas yang memiliki pendidikan profesi psikologi.

Selain memberikan manfaat bagi anggota, tata kelola HIMPSI yang baik juga harus memberikan manfaat pada bangsa Indonesia. HIMPSI harus menjadi organisasi yang secara “eksternal hebat”. Kehebatan eksternal HIMPSI harus ditunjukkan dengan karyanya untuk bangsa. HIMPSI telah memulai memberikan karyanya untuk bangsa dengan terbitnya buku berjudul “Revolusi Mental: Makna dan Realisasinya”. Kumpulan tulisan dalam buku ini menjadi bukti atas luasnya peran psikologi dalam berbagai perspektif peristiwa dan kondisi yang secara sadar atau tidak ikut membentuk sikap dan perilaku bangsa.

Selain itu, melalui dan bersama dengan HIMPSI Wilayah, HIMPSI memberikan layanan pendampingan psikologi pada berbagai peristiwa yang terjadi seperti bencana tanah longsor di Purwokerto, kecelakaan pesawat terbang Air Asia dan pesawat Hercules, dan juga memberikan bantuan psikologi untuk pengungsi Rohingnya di Aceh. Secara berkala, program Suara Pena HIMPSI merupakan partisipasi anggota HIMPSI dalam penulisan artikel psikoedukasi untuk konsumsi masyarakat luas Masyarakat diajak belajar bersama tentang peran psikologi berkenaan dengan topik yang diangkat sesuai peringatan hari besar nasional dan internasional. Anggota HIMPSI dan masyarakat dapat menggunakan artikel yang telah disebarkan tersebut untuk menjadi bahan diskusi atau dipublikasikan kembali dalam kegiatan yang relevan dengan seijin HIMPSI.

Kehebatan eksternal perlu didorong melalui  jalinan kerjasama baik di tingkat nasional maupun internasiona. Di tingkat nasional HIMPSI bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Kementerian Kesehatan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kepolisian Indonesia, dan berbagai instansi lain. HIMPSI membuka diri untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak demi menjawab tantangan implementasi keilmuan dan profesi Psikologi yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Di tingkat ASEAN, HIMPSI memperkuat jalinan kerjasama internasional dengan berbagai organisasi profesi di ASEAN melalui ASEAN Regional Union of Psychological Society (ARUPS) dan International Union of Psychological Societies (IUPsyS). Kerjasama dengan organisasi profesi sejenis di tingkat ASEAN ini nantinya akan membuahkan sistem pengakuan kualifikasi, kompetensi profesi dan juga registrasi bagi anggota untuk dapat memberikan layanan psikologi di wilayah ASEAN. Ke depannya HIMPSI akan terus berupaya mengembangkan kerjasama internasional yang membuka peluang belajar dan  pengembangan kompetensi anggota melalui berbagai kegiatan seminar,workshop, pengabdian masyarakat dan lainnya. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan psikologi yang bisa dinikmati oleh masyarakat dalam berbagai bidang.

Masa kini dapat disebut sebagai Abad Psikologi (The Psychological Century). Kebutuhan psikologi bagi individu, masyarakat, dan bangsa semakin dirasakan sangat penting. Segala persoalan yang terjadi seakan memanggil psikologi untuk turut serta menyelesaikannya. Psikologi yang oleh almarhum Ino Yuwono salah satu dosen di Fakultas Psikologi UNAIR disebut sebagai hanya “bunga ban” menjadi sangat dibutuhkan dalam kondisi masyarakat dan bangsa yang tidak sehat. Ibarat mobil yang berjalan di kondisi jalan yang licin, “bunga ban” menjadi penting agar mobil tidak tergelincir. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan peran psikologi agar bangsa ini dapat bergerak menjadi bangsa yang lebih berintegritas, produktif, inovatif, dan sejahtera baik secara ekonomis maupun psikologis. Tidaklah berlebihan apabila pada hari ulang tahun ke-56 HIMPSI tahun ini, HIMPSI menyerukan kepada seluruh warga Psikologi: Ayo bergabung bersama HIMPSI untuk mengembangkan diri agar dapat memberikan sumbangan lebih besar bagi bangsa Indonesia yang membutuhkan karya kita!”

Selamat ulang tahun ke-56 Himpunan Psikologi Indonesia, mari Berkembang Bersama HIMPSI. Maju terus Psikologi Indonesia.

Suara Pena HIMPSI – Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015

PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PENANAMAN BENIH KARAKTER ANAK INDONESIA

Keluarga besar Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ikut mendukung Hari Pendidikan Nasional bertema “Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”

2 Mei 2015

Pembinaan karakter manusia Indonesia sudah menunjukkan urgensi sehingga muncul berbagai gerakan yang diharapkan dapat memperbaiki karakter individu. Semangat memperbaiki etos kerja dan meningkatkan karakter pekerjanya nampak di berbagai instansi yang memasang visi, misi dan filosofi kerja yang berlaku. Di sekolah-sekolah pun banyak slogan dipampang untuk mengingatkan siswa agar belajar lebih rajin, lebih disiplin, menjaga kebersihan dan kerapihan diri. Tujuannya agar peserta didik ingat bahwa untuk menjadi lebih baik, mereka perlu menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Pembentukan karakter harus melewati suatu proses belajar yang membutuhkan latihan dan pengulangan.

Pada masyarakat tradisional, pembentukan karakter dilakukan melalui penanaman rasa malu. Hal ini terlihat dari penggunaan kata ora ilok, ngisin-isini dalam bahasa Jawa atau siri dalam bahasa Bugis. Seorang anak berusaha mencapai nilai baik karena tidak ingin merasa malu di hadapan teman-temannya, sehingga ia membiasakan diri untuk memperhatikan guru, belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah agar tidak harus malu atas kegagalan. Jika toh gagal, karakter perilaku yang baik ini tidak membuatnya harus menanggung malu. Namun dalam prakteknya, masih banyak contoh perilaku tidak berkarakter tersaji dalam keseharian, misalnya melanggar lampu lalu lintas dan melawan arus di jalan raya; atau korupsi waktu-uang, bullying terhadap rekan kerja dan sebagainya. Apakah sudah luntur rasa malu di masyarakat kita, sehingga menyaksikan perilaku tak berkarakter menjadi pemandangan yang biasa?

Secara psikologis rasa malu atau rasa bersalah seseorang didasari oleh emosi moral yang terdiri dari emosi malu dan emosi bersalah. Emosi moral diperlukan untuk menjembatani standar moral yang dianut seseorang dengan perilaku moral yang ditampilkannya. Gambaran pengetahuan dan internalisasi dari norma moral yang dimiliki oleh seorang individu disebut sebagai standar moral (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Standar moral yang dimiliki oleh seorang individu sebagian didikte oleh hukum moral universal, dan sebagian lagi dibentuk oleh larangan-larangan spesifik dalam sebuah budaya.

Menurut Tangney (1999), emosi malu merupakan internalisasi emosi negatif yang dialami individu saat ia gagal memenuhi aturan sosial. Emosi malu memunculkan perasaan negatif yang tidak menyenangkan yang kemudian memotivasi individu untuk menghindar dan melarikan diri dari situasi tersebut. Lingkungan sosial berperan penting dalam memunculkan emosi malu. Keluarga atau lingkungan mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang salah itu memalukan. Tracy dan Robins (2004) memandang emosi bersalah justru mendorong individu untuk memperbaiki tindakannya, bukan menghindar, artinya ada unsur konstruktif ketika seseorang merasa bersalah.

Untuk membangun karakter, emosi malu dan emosi bersalah sebagai bagian dari emosi moral sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan terkait dengan situasi sosial. Munculnya emosi malu dan emosi bersalah bersumber dan dipelajari dari keluarga, pendidikan, situasi kerja dan sebagainya. Benar-salah, baik-buruk seharusnya diajarkan secara eksplisit baik di rumah maupun di sekolah, bukan merupakan hidden curriculum. Dengan hanya menekankan penanaman emosi malu tanpa diikuti oleh bagaimana konstruksi karakter yang positif sebagai reaksi terhadap emosi malu tersebut, anak membangun pandangan diri negatif serta kurang/sulit mengembangkan harga diri.

Menurut Aristoteles, agar dapat tertanam karakter yang baik pada individu, maka ia perlu memiliki kebajikan intelektual, yaitu seseorang secara aktif melatih kemampuan nalarnya. Dengan melatih kemampuan berpikir, maka seseorang dapat mengatur impuls-impuls dan keinginannya menjadi lebih bijak dan menunjukkan karakter moral yang baik. Keluarga dan sekolah sebagai setting pendidikan perlu mengajarkan standar perilaku dan pengajarannya melalui aktivitas yang kontekstual, yaitu sesuai dengan budaya dan nilai yang berlaku (Vygotsky, 1978).

Penanaman emosi moral secara sistematis dapat dilakukan melalui pengembangan moral reasoning (penalaran moral) anak. Penalaran moral merupakan proses sistematik yang dilakukan untuk mengevaluasi kebajikan pribadi dan mengembangkan serangkaian prinsip moral secara konsisten dan obyektif (Lumpkin, 2003, dalam Lumpkin, 2008). Caranya dengan mulai mendiskusikan suatu isu secara aktif dalam berbagai situasi. Vygotsky (1978) menegaskan pentingnya anak secara aktif mengkonstruk pikirannya, kemudian menilai situasi dan perilaku yang muncul sehingga anak mengalami proses belajar yang bermakna.

Jika pemahaman di atas dikaitkan dengan pembentukan karakter yang berdasarkan Pancasila untuk anak-anak Indonesia melalui pendidikan, secara konkrit latihan pengembangan penalaran moral dapat dilakukan misalnya guru, anak dan orangtua dapat berdiskusi, berdebat, menyampaikan opini dan saran tentang suatu isu yang berkaitan dengan moral. Salah satu contoh yang sering digunakan misalnya

“Bagaimana pendapatmu bila anak mencuri obat sebagai bentuk cinta bagi orangtua yang sakit?”.

Latihan ini membantu anak melatih penalaran moralnya berdasarkan argumen nilai moral yang ada pada ke-5 sila dalam Pancasila. Diharapkan melalui latihan ini, kesadaran moral akan karakter yang baik dan diterima oleh lingkungan sosialnya menjadi bagian dari pembelajaran yang menyenangkan dan terkondisi dengan kuat sejak usia muda dan tidak mudah bergeser dalam situasi yang sulit karena dilakukan dengan penalaran moral dan kesadaran penuh.

Benarkah melalui pendidikan dapat tumbuh generasi berkarakter Pancasila? Salah satu unsur penting adalah bahwa kita semua yang lebih dewasa mampu mendidik diri sendiri menjadi role model karakter yang memancarkan jiwa Pancasila itu sendiri.

Ditulis oleh : Dr. Lucia RM Royanto, MSi, MSpEd, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia)

Disetujui oleh : Dr. Seger Handoyo, Psikolog (Ketua Umum HIMPSI)